BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Sesuai dengan Pasal 6
ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang
tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan
daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah
jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah. Munculnya gejala, bahkan
kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan Kabupaten, Kota, dan Propinsi
baru di Indonesia menuntut perlunya segera ditetapkan syarat-syarat dan
kriteria yang menjadi pertimbangan di dalam pembentukan dan pemekaran daerah.
Memasuki akhir dekade
1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang bermuara kepada
pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modal utama pembangunan
Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999tentang Otonomi
Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses
desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan
nasional.Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada
keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP 129/2000
tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat
perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP
tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama
telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik1 dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya.Pemekaran daerah dalam
tatanan filosofis dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(pasal 2 PP 129/2000). Argumentasi untuk ini didasarkan atas beberapa dimensi.
Pemekaran akan mempersingkat rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat,
khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh fasilitas
pemerintahan. Pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaiki pemerataan
pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yang terbangun
hanya daerah yang berdekatan dengan ibu kota pemerintahan daerah. Pemekaran
memungkinkan sumber daya mengalir ke daerah yang masih belum berkembang.
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang seperti
yang telah diuraikan di atas maka dapat penulis simpulkan rumusan masalah
sebagai berikut:
a) Apa yang dimaksud dengan pemekaran
daerah itu?
b) Bagaimana pemekaran daerah di
Indonesia?
c) Pedoman penilaian apa untuk dapat
menjalankan pemekaran daerah?
d) Dampak apa saja yang timbul seiring
dengan pemekaran daerah?
e) Bagaimana langkah yang bisa diambil
untuk mencegah gelombang
pemekaran daerah yang sangat pesat?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian pemekaran daerah
Pemekaran daerah berarti
pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom.
Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan
menjadi lebih dari satu daerah, namun setelah UU no.22 tahun 1999 diganti
dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka
materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun
istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah.
Dalam UU no 32 tahun
2004 tersebut pada pasal 4 ayat 3 dinyatakan: Pembentukan daerah dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau
pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sedangkan dalam Pasal
4 ayat 4 dalam UU tersebut dinyatakan:Pemekaran dari satu daerah menjadi 2
(dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan
setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
2.2
Pemekaran daerah di Indonesia
Jumlah penduduk
Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan dengan laju yang cukup tinggi.
Jumlah penduduk 15 tahun sebelum Indonesia merdeka sekitar 60 juta jiwa menjadi
97 juta jiwa 30 tahun kemudian. Berturut-turut pada tahun 1971, 1981 dan 2005
menjadi 119 juta jiwa, 147 juta jiwa dan 230 juta jiwa [4,7]. Dengan
menggunakan ukuran jumlah penduduk sebuah kota sebanyak 500.000 jiwa secara
teoritis pada tahun 2005 wilayah Indonesia dapat dibagi dalam 460 daerah otonom
(kabupaten dan kota). Angka tersebut akan bertahan paling tidak sampai tahun
2050, dengan asumsi masing masing daerah otonom tersebut berkembang secara
merata menjadi kota metropolis dengan jumlah penduduk mendekati angka satu juta
jiwa.
Jumlah penduduk minimal
sebagai persyaratan pemekaran daerah otonom tingkat kabupaten dan kota
dipandang lebih realistis dibanding dengan menggunakan jumlah kecamatan seperti
diatur dalam PP nomor 129 tahun 2000. Hasil kajian terhadap 24 daerah otonom
baru hasil pemekaran tahun 2003-2004 dapat ditunjukkan bahwa hanya dua daerah
otonom(8%) memiliki jumlah penduduk di atas 500.000 jiwa, delapan daerah otonom
(33%) berpenduduk di bawah 100.000jiwa (satu di antaranya hanya berpenduduk
11.000 jiwa), sedang daerah otonom lainnya (69%) berpenduduk antara100.000 –
500.000 jiwa. Fakta tersebut diduga memberikan kontribusi terhadap rendahnya
pencapaian tujuan otonomi daerah.
Luas daratan
Indonesia terdiri dari wilayah daratan
dengan ketinggian antara 0-25 mdpl (28%),antara 26-100 mdpl(24%), antara
101-500 mdpl (23%), antara 501-1000 mdpl (16%) dan dengan ketinggian di atas
1000 mdpl (9%). Fakta tersebut memperlihatkan bahwa luas daratan Indonesia yang
relatif paling baik untuk pengembangan permukiman perkotaan (di luar kehutanan,
perikanan, pariwisata dan beberapa jenis perkebunan) hanya sekitar 50% yaitu
pada wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl.Berdasarkan hasil perkiraan
jumlah ideal daerah otonom sebanyak 460 kabupaten dan kota maka secara rata
rata satu kabupaten/kota akan memiliki wilayah daratan rata rata seluas 4150
km2 atau rata rata efektif seluas 2075 km2.Penerapan persyaratan luas wilayah
menurut PP nomor 129 tahun 2000 terhadap jumlah daerah otonom hasil pemekaran
menghasilkan data luas daerah otonom baru yang beragam yaitu 13% memiliki luas
di atas 4150 km2, 8% memiliki luas260 km2, 50% memiliki luas 1000-4000 km2 dan
29% memiliki luas antara 300-1000 km2.Dari segi luas wilayah, kurang dari 50%
jumlah daerah pemekaran yang memenuhi kriteria ideal, 37% di bawah ideal dan
13% di atas ideal. Hal ini akan menimbulkan implikasi terhadap (1) efektifitas
pencapaian tujuan otonomi daerah bagi daerah otonom yang sangat luas dan (2)
daerah otonom yang luasnya relatif sempit akan menghadapi persoalan keterbatasan
tanah dibanding dengan kecepatan pengembangan wilayahnya.
2.3
Pedoman penilaian pemekaran/pembentukan kabupaten/kota/propinsi (pelaksanaan PP
no. 129 tahun 2000)
Dalam PP No. 129 tahun
2000 tersebut diuraikan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan
penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
karena pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan
atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah,
dan meningkatkan keamanan dan ketertiban.
Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum
syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut :
1.
Kemampuan Ekonomi;
2.
Potensi Daerah;
3.
Sosial Budaya;
4.
Sosial Politik;
5.
Jumlah Penduduk;
6.
Luas Daerah;
7.
Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah, selaku departemen teknis, selalu diminta untuk
memberikan masukan sebagai pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah (sebagaimana tercantum dalam butir g. [pasal 3 PP No. 129/2000]
di atas) dan/atau masukan lain sebagai pertimbangan teknis untuk menyempurnakan
syarat-syarat pembentukan daerah. Untuk menjaga konsistensi penilaian
pembentukan/pemekaran daerah, perlu disusun Pedoman Penilaian
Pembentukan/Pemekaran Daerah yang ditekankan pada aspek teknis yang mencakup
bidang penataan ruang dan permukiman serta prasarana wilayah, dengan senantiasa
memperhatikan jiwa dan semangat PP No. 129 tahun 2000.
Peninjauan dari aspek tata ruang,
permukiman dan prasarana wilayah dimaksudkan untuk :
1. Mewujudkan daerah yang mampu
berkembang secara mandiri;
2. Menjaga keseimbangan perkembangan
daerah antara daerah baru dengan
daerah induknya;
3. Menghindari dampak negatif sosial
dan lingkungan akibat adanya pemekaran
daerah;
4.
Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana yang optimal (yang dapat
melayani seluruh wilayah).
Dengan adanya penilaian
dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah, diharapkan daerah yang
akan dimekarkan nantinya akan cepat berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan.
2.4
Dampak yang ditimbulkan karena pemekaran daerah yang pesat di indonesia
Dampak dari pemekaran
daerah yang cukup pesat ini adalah:
(1) kesulitan keuangan dan pembiayaan
pembangunan
(2) pelayanan publik yang masih sama
dan belum membaik
(3) kesejahteraan rakyat yang masih
belum baik
(4) sumber daya aparat pemerintah
merupakan residu dari daerah induk.
Selain yang disebutkan
diatas permasalahan lain ialah jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia
berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Berapa jumlah provinsi
di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi
termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang
mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk
menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung
dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001,
kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30
provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004
terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.
Tak dapat dipungkiri
bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN
karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah
baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat
kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah
baru.
Berhubungan dengan
kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan
PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah
dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat, Namun, kriteria
yang disampaikan oleh presiden tersebut dirasakan kurang bersifat operasional
misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator,
sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran
berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut,
mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.
Sudah menjadi rahasia
umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan
jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem
birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini
tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN)
kepada pemerintah daerah.
Motivasi untuk membentuk
daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana
transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi
umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil
pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.Komponen terbesar dalam dana transfer
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya
pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya
lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan
didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan
berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Akan tetapi, hal ini
menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan
motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU
tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor
pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja
pegawai.Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas
memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang
publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada
tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada
pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah
pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan
pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.
Pada 2003, daerah hasil
pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp1,33
triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran
2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini
tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga
memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan
penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini
adalah adanya kemungkinan beban APBN bertambah dengan adanya intervensi yang
harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran
ini.Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah
pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu
jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana
pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88
miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau
setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.Jumlah itu
terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar. Terlihat jelas bahwa
setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi
jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan
setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran
kabupaten/kota.
2.5
Mengendalikan gelombang pemekaran daerah
Gelombang pemekaran
daerah yang tidak terkendali ini berpotensi mengakibatkan defisit atau ancaman
“kebangkrutan nasional” baik secara politik, ekonomi, kultur, teknis, dan
keamanan nasional. Temuan lain di lapangan menunjukan bahwa proses dan pasca
pemekaran daerah berdampak pada munculnya gejala politik uang yang menyedot dana
APBD daerah induk, penguatan identitas elite lokal/etnis/agama/wilayah yang
menggerus nasionalisme, dan semakin banyak yang kalah pilkada cenderung semakin
banyak pula rencana mengusulkan pemekaran daerah. Daerah pemekaran baru
menyebabkan terjadi split data kependudukan di daerah baru dan daerah induk.
Konsekuensinya terjadi kerepotan pembiayaan penyelenggaraan pilkada/pemilu.
Muncul sengketa tapal batas dan sengketa lokasi ibu kota. Terjadi involusi
politik atau merasa semakin berkuasa tetapi sebenarnya makin mengecilnya lahan
kewenangan politiknya. Memberatkan APBD daerah induk dan APBN yang harus
menyediakan dana pendamping untuk daerah baru.
Oleh karena itu, memang
sudah sepantasnya pemekaran daerah dikendalikan atau dihentikan sementara.
Pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki grand design for territorial reform.
Pemerintah hanya mengandalkan UU 32/2004 dan PP 78/2007 yang longgar. Ditambah
lagi banyaknya pintu usulan pemekaran, yakni pintu Depdagri, DPR, dan
DPD.Menghentikan total pemekaran daerah adalah belum mungkin sebab harus
mencabut dan merevisi UU 32/2004 dan PP 78/2007. Pelarangan pemekaran berarti
melanggar kebebasan, hak asasi, dan aspirasi yang dijamin konstitusi.
Pelarangan itu dengan sangat mudah dipatahkan dengan pengajuan review ke MK
atau MA.
Dalam perspektif politik
dan kebijakan, meminjam pemikiran Peter Schroeder (2004), ada dua strategi
politik untuk menahan atau menghambat laju pemekaran daerah.
Pertama, tindakan
politik pengambangan dan Kedua, deregulasi kebijakan pemekaran daerah.Tindakan
politik pengambangan itu dilakukan dengan cara menangguhkan usulan pemekaran.
Syaratnya ada komitmen untuk itu, siap menjadi kurang populer, dan siap
menanggung resiko untuk tidak dipilih kembali. Di level daerah hal ini bisa
dilakukan oleh Bupati/Walikota, DPRD kabupaten/kota, Gubernur, DPRD Provinsi.
Di level pusat hal ini bisa dilakukan oleh Depdagri, DPOD, DPR, dan DPD. Kampus
atau lembaga penelitian yang mengerjakan studi kelayakan daerah baru mesti juga
siap menyatakan bahwa memang daerah itu belum layak untuk dimekarkan.
Konsekuensinya siap untuk dijauhi rakyat dan menjadi tidak populer.
Deregulasi kebijakan
pemekaran daerah dilakukan dengan cara merevisi kembali PP 78/2007. Substansi
yang perlu direvisi adalah memperpanjang masa persiapan pemekaran,
mensinkronkan kerja penanganan pemekaran daerah, dan pentingnya penyampaian
laporan berkala kemajuan sebagai bentuk monitoring bersama.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pembentukan, pemekaran,
penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan atas dasar pertimbangan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi,
meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan ketertiban.
Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum
syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut : a.
Kemampuan Ekonomi, b. Potensi Daerah, c. Sosial Budaya, d. Sosial Politik, e.
Jumlah Penduduk, f. Luas Daerah, g. Pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya Otonomi Daerah.
Permasalahan yang timbul seiring
dengan pemekaran daerah adalah:
(1) kesulitan keuangan dan pembiayaan
pembangunan
(2) pelayanan publik yang masih sama
dan belum membaik
(3) kesejahteraan rakyat yang masih
belum baik
(4) sumber daya aparat pemerintah
merupakan residu dari daerah induk.
Selain itu, terdapat
juga persoalan pasca pemekaran seperti konflik akibatpengalihan rencana lokasi
bangunan kantor pemda, prioritas pembangunan fisik untuk pusat kabupaten/kota versus
untuk rakyat, ketidakpuasan wilayah tertentu yang tidak dilibatkan dalam
pemekaran, serta sengketa tapal batas wilayah induk dan pemekaran.
Contoh
kasus pemekaran daerah
Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) atas nama Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara resmi melantik
enam bupati dan satu walikota daerah pemekaran, Selasa (26/05/2009) ini di
Jakarta . Salah satu yang menjabat bupati daerah pemerkan baru tersebut adalah
Drs Syamsuar untuk Plt Bupati Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Pelantikan yang
berlangsung di Kantor Menteri Dalam Negeri itu secara langsung juga dihadiri
oleh Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit, Asistem I Setdaprov Riau Abdul Latif,
Asisten III M Ramli Walid.
Mendagri Mardiyanto
dalam amanatnya mengatakan, pemekaran wilayah diharapkan akan meningkatkan
segala percepatan pembangunan, pemerataan pembbangunan serta pelayanan yang
selama ini dikeluhkan akan tercapai. Sehingga pejabat yang telah dilantik ini
kiranya mampu memanfaatkan tugas tersebut dengan baik.Selain itu, Mendagri pun
menekankan dua tugas utama yang harus dijalankan oleh para penjabat yang baru
itu, yakni menjalankan tugas pemerintahan dan menyiapkan pelaksanaan Pilkada
pada pemilihan kepala daerah definitif. Karena itu deadline setahun yang
diberikan Mendagri tersebut terhadap para penjabat, harus benar dilaksanakan. Sementara
ditempat yang sama, Wagubri HR Mambang Mit seusai pelantikan, tampak memberikan
ucapan selamat terhadap Penjabat Bupati Meranti, Syamsuar. Pada kesempatan itu,
Mambang mengharapkan kepada Syamsuar kiranya mampu menjalakan roda pemerintahan
yang kini telah diembannya, sebagaimana pula yang telah dipesankan Mendagri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar